.quickedit{display:none;}

Jumat, 10 Februari 2012

Cerdas Sikapi Bahan Pengawet Makanan Cara Ampuh Hindari Chemophobia

oleh : Ary Kristianto
Ketua Forum Komunikasi Telisik Pangan HIMITEPA IPB

Sebuah pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Mungkin hal inilah yang paling mewakili persepsi masyarakat tentang bahan pengawet makanan. Isu-isu negatif yang berkembang tanpa adanya sumber yang jelas kerapkali membuat masyarakat tidak mengenal bahan pengawet makanan secara obyektif dan utuh. Informasi yang tidak lengkap ini akhirnya mengakibatkan chemophobia, yaitu ketakutan terhadap bahan-bahan kimia termasuk pengawet makanan. Jika kondisi ini tidak segera disikapi secara bijaksana, maka akan menimbulkan kerugian khususnya bagi masyarakat itu sendiri.
Mengenal dan memahami bahan pengawet makanan akan lebih menguntungkan bagi pihak penggunanya. Sikap yang antipati dan sikap memusuhi bahan pengawet makanan tidak selalu memberikan sikap positif. Oleh karenanya, mencoba mengenal dan berkawan dengan bahan pengawet makanan menjadi opsi yang pantas untuk dilakukan.
Bahan pengawet makanan dikategorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu bahan pengawet makanan alami dan bahan pengawet makanan artificial (sintetik). Dari dua jenis bahan pengawet makanan ini, yang paling banyak menuai kontroversi adalah bahan pengawet makanan dari sintesis kimia. Sebenarnya munculnya stigma negatif terhadap bahan pengawet makanan artifisial ini sudah berlangsung sejak 1980-an. Di Eropa terdapat lebih dari 50% masyarakat yang memiliki kekhawatiran terhadap bahan kimia dalam produk pangan. Kekhawatiran ini berawal dari adanya alergi dan intoleransi pada anak-anak, serta adanya beberapa senyawa kimia yang dapat menyebabkan kanker bila digunakan secara berlebihan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kasus-kasus ini masih sangat jarang terjadi dan terkesan dibesar-besarkan. Sebuah survey ilmiah menunjukkan bahwa prevalensi intoleransi terhadap pangan oleh bahan tambahan pangan sintetik pada orang dewasa sekitar 2-20%, sedangkan pada anak-anak hanya sekitar 0,1-0,23%.
Bahan pengawet makanan masih diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Tidak dapat dipungkiri, meskipun telah diklaim aman oleh lembaga penelitian pangan dunia, seperti Codex Alimentarius Commission (CAC), badan standar pangan dunia (FAO/WHO), EFSA (Otoritas Keamanan Pangan Eropa), dan lembaga di tingkat nasional seperti BPOM. Namun apabila digunakan dengan cara yang kurang tepat, maka dapat memicu kecurangan atau membahayakan kesehatan manusia. Menyoroti kesalahpahaman yang berlarut-larut pada bahan pengawet makanan sintetik ini, agaknya letak permasalahannya berada pada masalah etika dan dosis. Selama bahan pengawet makanan sintetik yang digunakan masih sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik penggunaannya serta dengan takaran dosis yang benar, seharusnya tidak banyak persoalan yang ditimbulkan.
Kasus Nipagin adalah kasus yang layak untuk dijadikan contoh. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahan pengawet makanan sintetik ini menyebabkan mudahnya penyebaran isu yang merugikan baik pihak produsen maupun pihak konsumen. Isu nipagin mulai mencuat di permukaan ketika adanya penolakan masuknya mie instan asal Indonesia ke negara Taiwan. Penolakan ini berdasarkan kebijakan pemerintah Taiwan yang tidak memperbolehkan adanya senyawa nipagin pada produk pangan salah satunya mie instan. Namun kebijakan ini bukan berarti nipagin tidak aman digunakan melainkan suatu kebijakan otoriter masing-masing negara.
Menyangkut permasalahan keamanan nipagin (metilhidroksi benzoat), kajian keamanan metil hidroksi benzoat ini kembali dilakukan secara detail oleh Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa (EFSA) melalui Panel Ahli (The Scientific Panel on Food Additives, Flavourings, Processing Aids, and Materials in Contact with Food). Panel ahli telah melakukan evaluasi keamanan pangan untuk kelompok senyawa ester dari hidroksi benzoat sebagai bahan tambahan pangan. Hasil kajian dari EFSA ini dituangkan dalam bentuk opini ilmiah EFSA yang dikeluarkan pada bulan September 2004. Salah satu hasil penting dari kajian ini adalah metil hidroksi benzoat dapat digunakan sebagai pengawet, dengan ADI (Acceptable Daily Intake) sampai 10mg/kg berat badan per hari. Bahkan, Codex Alimentarius Commission (CAC), badan standar pangan dunia (FAO/WHO) juga telah mengadopsi dan selalu merevisi adanya standar bahan tambahan pangan dengan terbitnya Codex General Standard for Food Additives. Standar ini pertama kali diadopsi pada tahun 1995, direvisi tahun 1997, 1999, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, dan terakhir 2010). Pada standard mutakhir tersebut, CAC mengizinkan penggunaan metil (juga etil) hidroksi benzoat ini (dengan nomor INS 218) untuk beberapa jenis produk pangan, termasuk kecap dengan batas maksimum 1000 mg/kg. Secara khusus, berbagai standar penggunaan metil (dan etil) hidroksi benzoat baru diadopsi antara 2009-2010; yang berarti bahwa kajian keamanannya telah mempertimbangkan berbagai data keamanan mutakhir.
Cara cerdas berkawan dengan bahan pengawet makanan sintetik
• Produk apapun, apabila dikonsumsi secara berlebihan tidak baik bagi kesehatan, termasuk bahan pengawet makanan. Oleh karena itu, berusahalah untuk tidak mengonsumsi bahan makanan yang mengandung pengawet makanan buatan dalam jumlah besar dan terus-menerus.
• Membiasakan diri mengenali bahan pengawet makanan sintetik dengan membaca label yang tertera pada kemasan. Jangan langsung mengambil kesimpulan negatif terlebih dahulu apabila dalam kemasan tersebut tercantum berbagai macam rumus kimia. Sebaiknya, tidak phobia dengan produk-produk yang mencantumkan nama kimia pada label.
• Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang bahan pengawet makanan, sehingga dapat bersikap kritis dan obyektif pada bahan pengawet makanan sintetik. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Badan POM, atau dari institusi pendidikan terkait
• Tidak mudah terkecoh dan bereaksi secara berlebihan terhadap isu-isu bahan pengawet sintetik yang beredar di masyarakat yang belum jelas sumbernya. Motif isu negatif bahan pengawet makanan sangat bervariasi, mulai dari yang benar-benar demi kepentingan konsumen, kepentingan perdagangan, dan kepentingan politik.
• Terakhir, kenali dan sayangi, sebagai konsumen yang bijak harus selalu kritis dan tanggap terhadap cerita tragis kasus yang disebabkan oleh bahan pengawet makanan yang beredar. Apakah kejadian tersebut hanya terjadi satu kali atau memang mewakili kejadian pada suatu populasi. Ada baiknya mencari informasi yang benar dari lembaga yang kredibel, sehingga tidak mudah termakan oleh isu-isu yang menyesatan masyarakat termasuk isu tentang bahan pengawet makanan.

1 komentar: