.quickedit{display:none;}

Jumat, 10 Februari 2012

Cerdas Sikapi Bahan Pengawet Makanan Cara Ampuh Hindari Chemophobia

oleh : Ary Kristianto
Ketua Forum Komunikasi Telisik Pangan HIMITEPA IPB

Sebuah pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Mungkin hal inilah yang paling mewakili persepsi masyarakat tentang bahan pengawet makanan. Isu-isu negatif yang berkembang tanpa adanya sumber yang jelas kerapkali membuat masyarakat tidak mengenal bahan pengawet makanan secara obyektif dan utuh. Informasi yang tidak lengkap ini akhirnya mengakibatkan chemophobia, yaitu ketakutan terhadap bahan-bahan kimia termasuk pengawet makanan. Jika kondisi ini tidak segera disikapi secara bijaksana, maka akan menimbulkan kerugian khususnya bagi masyarakat itu sendiri.
Mengenal dan memahami bahan pengawet makanan akan lebih menguntungkan bagi pihak penggunanya. Sikap yang antipati dan sikap memusuhi bahan pengawet makanan tidak selalu memberikan sikap positif. Oleh karenanya, mencoba mengenal dan berkawan dengan bahan pengawet makanan menjadi opsi yang pantas untuk dilakukan.
Bahan pengawet makanan dikategorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu bahan pengawet makanan alami dan bahan pengawet makanan artificial (sintetik). Dari dua jenis bahan pengawet makanan ini, yang paling banyak menuai kontroversi adalah bahan pengawet makanan dari sintesis kimia. Sebenarnya munculnya stigma negatif terhadap bahan pengawet makanan artifisial ini sudah berlangsung sejak 1980-an. Di Eropa terdapat lebih dari 50% masyarakat yang memiliki kekhawatiran terhadap bahan kimia dalam produk pangan. Kekhawatiran ini berawal dari adanya alergi dan intoleransi pada anak-anak, serta adanya beberapa senyawa kimia yang dapat menyebabkan kanker bila digunakan secara berlebihan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kasus-kasus ini masih sangat jarang terjadi dan terkesan dibesar-besarkan. Sebuah survey ilmiah menunjukkan bahwa prevalensi intoleransi terhadap pangan oleh bahan tambahan pangan sintetik pada orang dewasa sekitar 2-20%, sedangkan pada anak-anak hanya sekitar 0,1-0,23%.
Bahan pengawet makanan masih diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Tidak dapat dipungkiri, meskipun telah diklaim aman oleh lembaga penelitian pangan dunia, seperti Codex Alimentarius Commission (CAC), badan standar pangan dunia (FAO/WHO), EFSA (Otoritas Keamanan Pangan Eropa), dan lembaga di tingkat nasional seperti BPOM. Namun apabila digunakan dengan cara yang kurang tepat, maka dapat memicu kecurangan atau membahayakan kesehatan manusia. Menyoroti kesalahpahaman yang berlarut-larut pada bahan pengawet makanan sintetik ini, agaknya letak permasalahannya berada pada masalah etika dan dosis. Selama bahan pengawet makanan sintetik yang digunakan masih sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik penggunaannya serta dengan takaran dosis yang benar, seharusnya tidak banyak persoalan yang ditimbulkan.
Kasus Nipagin adalah kasus yang layak untuk dijadikan contoh. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahan pengawet makanan sintetik ini menyebabkan mudahnya penyebaran isu yang merugikan baik pihak produsen maupun pihak konsumen. Isu nipagin mulai mencuat di permukaan ketika adanya penolakan masuknya mie instan asal Indonesia ke negara Taiwan. Penolakan ini berdasarkan kebijakan pemerintah Taiwan yang tidak memperbolehkan adanya senyawa nipagin pada produk pangan salah satunya mie instan. Namun kebijakan ini bukan berarti nipagin tidak aman digunakan melainkan suatu kebijakan otoriter masing-masing negara.
Menyangkut permasalahan keamanan nipagin (metilhidroksi benzoat), kajian keamanan metil hidroksi benzoat ini kembali dilakukan secara detail oleh Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa (EFSA) melalui Panel Ahli (The Scientific Panel on Food Additives, Flavourings, Processing Aids, and Materials in Contact with Food). Panel ahli telah melakukan evaluasi keamanan pangan untuk kelompok senyawa ester dari hidroksi benzoat sebagai bahan tambahan pangan. Hasil kajian dari EFSA ini dituangkan dalam bentuk opini ilmiah EFSA yang dikeluarkan pada bulan September 2004. Salah satu hasil penting dari kajian ini adalah metil hidroksi benzoat dapat digunakan sebagai pengawet, dengan ADI (Acceptable Daily Intake) sampai 10mg/kg berat badan per hari. Bahkan, Codex Alimentarius Commission (CAC), badan standar pangan dunia (FAO/WHO) juga telah mengadopsi dan selalu merevisi adanya standar bahan tambahan pangan dengan terbitnya Codex General Standard for Food Additives. Standar ini pertama kali diadopsi pada tahun 1995, direvisi tahun 1997, 1999, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, dan terakhir 2010). Pada standard mutakhir tersebut, CAC mengizinkan penggunaan metil (juga etil) hidroksi benzoat ini (dengan nomor INS 218) untuk beberapa jenis produk pangan, termasuk kecap dengan batas maksimum 1000 mg/kg. Secara khusus, berbagai standar penggunaan metil (dan etil) hidroksi benzoat baru diadopsi antara 2009-2010; yang berarti bahwa kajian keamanannya telah mempertimbangkan berbagai data keamanan mutakhir.
Cara cerdas berkawan dengan bahan pengawet makanan sintetik
• Produk apapun, apabila dikonsumsi secara berlebihan tidak baik bagi kesehatan, termasuk bahan pengawet makanan. Oleh karena itu, berusahalah untuk tidak mengonsumsi bahan makanan yang mengandung pengawet makanan buatan dalam jumlah besar dan terus-menerus.
• Membiasakan diri mengenali bahan pengawet makanan sintetik dengan membaca label yang tertera pada kemasan. Jangan langsung mengambil kesimpulan negatif terlebih dahulu apabila dalam kemasan tersebut tercantum berbagai macam rumus kimia. Sebaiknya, tidak phobia dengan produk-produk yang mencantumkan nama kimia pada label.
• Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang bahan pengawet makanan, sehingga dapat bersikap kritis dan obyektif pada bahan pengawet makanan sintetik. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Badan POM, atau dari institusi pendidikan terkait
• Tidak mudah terkecoh dan bereaksi secara berlebihan terhadap isu-isu bahan pengawet sintetik yang beredar di masyarakat yang belum jelas sumbernya. Motif isu negatif bahan pengawet makanan sangat bervariasi, mulai dari yang benar-benar demi kepentingan konsumen, kepentingan perdagangan, dan kepentingan politik.
• Terakhir, kenali dan sayangi, sebagai konsumen yang bijak harus selalu kritis dan tanggap terhadap cerita tragis kasus yang disebabkan oleh bahan pengawet makanan yang beredar. Apakah kejadian tersebut hanya terjadi satu kali atau memang mewakili kejadian pada suatu populasi. Ada baiknya mencari informasi yang benar dari lembaga yang kredibel, sehingga tidak mudah termakan oleh isu-isu yang menyesatan masyarakat termasuk isu tentang bahan pengawet makanan.

Selasa, 02 Agustus 2011

Halal di Indonesia Halal di Dunia

Oleh : Ary Kristianto Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB
Kepala Divisi Ilmiah Pusat Ikatan Mahasiswa Muslim Peduli Pangan dan Gizi

Tak terlalu muluk jika suatu saat nanti akan ada sebuah perkataan, Halal di Indonesia, Halal juga di Dunia. Indonesia diramalkan akan menjadi pusat halal dunia. Saat ini, Industri pangan di Dunia mulai melirik pangsa pasar konsumen muslim karena dari segi ukuran menjadi target pasar yang sangat menjanjikan. Konsumen muslim selain mensyaratkan produk pangan yang bermutu juga memiliki barrier yaitu Halal. Halal adalah pangan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi muslim dan mensyaratkan ketentuan-etentuan tertentu sesuai syariat.
Lalu, mengapa Indonesia diramalkan menjadi pusat halal dunia. Bila dilihat dari segi kuantitas, Indonesia adalah Negara dengan penduduk muslim terbesar, mengalahkan negara-negara muslim lainnya seperti Malaysia, Arab Saudi, Turki, bahkan jika jumlah penduduk muslim dari negara negara tersebut dijadikan satu maka jumlahnya masih dibawah jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai 200 juta jiwa.
Alasan kedua adalah Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam merancang dan menyusun model sertifikasi halal terbukti adanya Majelis Ulama Indonesia yang secara khusus membentuk LPPOM sebagai model ideal untuk memastikan kehalalan produk dari sisi syariah dan sains teknologi. Saat ini LPPOM tengah memperkuat manajemen internalnya dan telah tersebar di 32 propinsi di Indonesia.
Demikian juga konsumen muslim di Indonesia mulai tumbuh kesadarannya untuk memprioritaskan produk-produk halal sehingga kesadaran ini mempercepat Indonesia sebagai role model masyarakat cinta halal. Tak hanya konsumen, produsen pangan di Indonesia pun mulai meningkatkan kesadarannya untuk memproduksi produk-produk pangan halal sebagai wujud tanggung jawab sosial.
Di kancah Internasional Indonesia diakui sebagai pendiri dan pemimpin World Halal Council yang beranggotakan 45 Lembaga dari 20 negara Sertifikasi Halal Dunia. Bahkan saat ini Standar Halal MUI telah teruji dan diakui dunia dan menjadi rujukan lembaga halal dunia. Selain itu, seiring kemajuan teknologi pangan, menuntut sistem jaminan halal yang harus selalu dinami. Untuk itu LPPOM memiliki Halal Science Center yang berfungsi sebagai pusat kajian pangan halal dan perkembangan terbaru tentang penentuan kehalalan suatu produk pangan sehingga dapat menyelaraskan syariah dengan perkembangan teknologi di bidang pangan.
Dukungan pemerintah yang persisten untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat halal dunia melalui penggodokan rancangan undang-undang jaminan produk halal memberi angin segar untuk percepatan Indonesia sebagai pusat halal dunia. Penegasan yang lebih konkret disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa bahwa besarnya populasi muslim di Indonesia tidak hanya menjadi parameter pantas tidaknya Indonesia sebagai pusat halal dunia, namun juga sebagai acuan standar sertifikasi halal yang selama ini ditangani LPPOM MUI. Kini pangan sangat dekat dengan perkembangan teknologi meski mendapat perhatian, khususnya dalam masalah kehalalan dan Indonesia layak menjadi pemimpin dunia dalam standar produk halal. Jadi bukan suatu hal yang absurd jika suatu saat nanti, produk halal di Indonesia, sudah pasti halal di manapun anda berada. (ark)

Minggu, 05 Juni 2011

Berbincang dengan Prof Tien R Muchtadi

Tinjauan Penanggulangan Kekuarangan Vitamin A dengan Aplikasi Teknologi SHFE

oleh Ary Kristianto
Ketua Forum Komunikasi Telisik Pangan Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan IPB


Fortifikasi adalah sebuah kemajuan yang dicapai teknologi untuk enrichment gizi manusia. Indonesia memiliki beberapa pengalaman terkait fortifikasi. Dulu, masalah penyakit gondok menyerang penderita yang tinggal di pegunungan karena susah mengakses iodium. Oleh karena itu timbullah ide penyisipan zat iodium untuk mencegah gondok melalui carier garam dapur. Alasanya karena saat itu garam dapur dibutuhkan oleh siapa saja. Kasus lain adalah fortifikasi Fe pada tepung terigu, sasaranny adalah Ibu hamil karena saat itu terigu telah membudaya di Indonesia sehingga kebijakan fortifikasi ini menjadi diprioritaskan oleh pemerintah. Baru-baru ini ada wacana untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin A dengan cara yang masih dicari yang paling tepat. Kapsul yang dulu dianggap solusi terbaik, terpaksa ditarik karena program dari UNICEF sebentar lagi usai sehingga harus dicari alternatif lainnya. Ada beberapa optio yang ditawarkan, pertama adalah mencari carier fortifikasi vitamin A sintetik, mengisolasi betakaroten pada minyak sawit dan menjadkannya produk baru, menambahkan betakaroten pada minyak goreng sehingga berwarna orange sampai membuat produk-produk turunan dari beta karoten minyak sawit.
Banyak jalan menuju roma, komentar dari Prof Tien Muchtadi. Yang terpenting adalah ditemukannya alternatif peenuhan vitamin A yang paling efisien. Meskipun dari beberapa orang yang memilih option fortifkasi vitamin A sintetik pada minyak goreng, menyatakan tingkat retensinya masih 40%, tapi menurut sisi teknologi, beliau menyatakan hal itu tinggal 40% dan 60% lainnya terbuang percuma, beliau menyatakan program fortifikasi tersebut dilandasi niat baik untuk mengurangi masalah kekurangan vitamin A dan didukung studi yang tidak sebentar, namun juga tidak berarti mendukung program tersebut.
Bukan tanpa solusi, Prof Tien dengan bekal pengalaman studi di New York menyatakan banyak hal yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin A dari Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia. Sawit adalah salah satu kekayaan Indonesia yang luar biasa hebat. Beliau menyatakan bayangkan dalam 1 molekul betakaroten terdapat 2 molekul provitam A. Lantas bagaiamana membahasakan potensi ini menjadi sebuah materi atau produk. Pada pengolahan miyak sawit konvesional, minyak sawit yang memiliki rendemen minyak tinggi dengan kandungan betakaroten rendah dicampur dengan rendeman minyak rendah dengan kandungan betakaroten tinggi, Hal ini tentu mengurangi cost. Oleh karena itu ditawarkan solusi untuk pemisahan sawit dengan rendemen minyak rendah betakaroten tinggi untuk diekstrak beta karoten. Potensi betakarorennya sangat besar, bahkan baru-baru ini ditemukan varietas sawit yang mampu menghasilkan betakaroten sebanyak 40000 ppm. Potensi inilah yang diusulkan menjadi produk unggulan. Seafast center telah melakukan berbagai macam riset terkait pengembangan produk ini dan dihasilkan minyak sawit merah, forfita emulsion, dan jenis produk turunan. Potensi inilah yang menjadi alasan Watimpres yang diketuai Fadhilah Supari (Mantan Menteri Kesehatan) menahan keputusan presiden terkait mandatory fortifikasi vitamin A pada minyak goreng. Informasi terkini menyatakan biaya untuk fortifikasi ini akan dilakukan fit and proper test dan apabila dirasa kurang efektif efeknya maka akan dialihkan untuk pengembangan program pengolahan minyak sawit menjadi produk kaya beta karoten.
Bila akan dikomparasikan dengan program fortifikasi vitamin A dari sisi kesiapan kelembagaan, kecepatan jangkauan terhadap masyarakat sasaran, secara kasat mata tidak bisa dilakukan karena berbeda cara pandang. Namun, dari sisi kelayakan dan potensi produk, produk-produk turunan minyak sawit telah merencanakan road map yang siap jalan. Mulai dari sisi produknya, konsep produksinya, penyaluran kepada masyarakat serta kesesuian dengan program pemerintah. Penetrasi kepada masyarakat sasaran akan sinergis dengan adanya program kapsulasi betakaroten secara gratis dan penyisipan produk beta karoten pada carier yang tepat seperti bumu pada mie instan, serta pengemangan produk emulsi sawit untuk anak-anak dengan beragam rasa. Secara scale up, produk-produk turunan minyak sawit layak untuk menjadi pilihan program penanggulangan kekurangan vitamin A bagi penyandang dana dan penentu kebijakan. Hanya saja dukungan dari berbagai pihak harus senantiasa sinergis.
Di akhir wawancara prof tien menyampaikan bebrapa kata untuk generasi peerus bangsa, terus majulah anak muda, bergeraklah dengan pergerakan intelektual dengan saintis base. Berpikirlah untuk masyarakatmu, teruskan estafet ini, isu pangan adalah isu untama dan pertama yang harus selalu dijaga pada relnya. Tabunglah sebanyak mungkin prestasi untuk masa depanmu. Pedulilah dengan sekitarmu, anda adalah perwira di bidang teknologi pangan, sudah kewajiban anda untuk berkontribusi aktif dalam setiap polemik. Beliau juga mengajak seluruh elemen masyarakat termasuk mahasiswa memperjuangkan kemandirian bangsa termasuk dalam pemenuhan vitamin A dari sumber daya alam yang kita punya. Gunakan ilmu dan teknologi untuk mengolah kekayaan negeri ini. Sudah saatnya kita menunjukkan kemandirian bangsa kita.

Minggu, 08 Mei 2011

IPB Bicara Pangan Lokal


Bedah Buku Pangan Lokal
oleh : Ary Kristianto (Ketua Telisik Pangan Himitepa IPB)

“One day no rice, Gali Potensi Pangan Lokal” dan jargon-jargon tentang upaya diversifikasi pangan lokal mewarnai banyak seminar tentang ketahanan pangan maupun materi-materi kuliah mahasiswa yang mendalami ilmu di bidang pangan. Menarik memang ulasan mengenai pangan lokal apalagi jika yang mengulas adalah seorang pakar di bidang pangan seperti yang tersusun dalam buku Riset untuk Mendayagunakan Potensi Lokal Karangan Dr Dahrul Syah. Buku ini mempunyai dasar sains yang kuat karena ditulis berdasarkan implementasi riset di lapangan. Rincian tentang pangan lokal dan usaha untuk pengembangan di tingkat industri dirunut secara runtut di tiap babnya.
Tak seperti kebanyakan buku pangan lokal yang menyajikan bahasan secara konseptual, buku ini mencoba melihat potensi pangan lokal dari sisi konteksnya sehingga pembaca akan lebih memahami secara gampang dan gamblang tentang apa yang harus dilakukan untuk mengolah pangan lokal. Salah satu contohnya ialah potensi lokal Ubi Jalar. Dr Dahrul Syah mengawalinya dengan gambaran terkini budi daya ubi jalar dan potensinya, dilanjutkan dengan roadmap pengembangan ubi jalar, langkah stategis yang dapat dan telah dilakukan melalui program Riset Unggulan Strategis Nasional, kendala serba-serbi pengembangan potensi lokal dan ditutup dengan analisis kelayakan untuk industrialisasi komoditas ubi jalar.
Sebuah karya yang pantas menjadi referensi bagi tiap mahasiswa yang mendalami bidang pangan, calon pengusaha yang berminat menggeluti usaha pangan lokal maupun pemerintah daerah yang serius mengembangkan potensi lokal di daerahnya.

Senin, 11 April 2011

'Bafosa' Babakan Food Center Harapan Baru Keamanan Pangan Babakan Raya

oleh:
Ary Kristanto
Ketua Forum Komunikasi Telisik Pangan Himitepa IPB


Tak pernah mati, adalah ungkapan yang dapat merepresentasikan kondisi BARA, jalanan menuju kampus IPB Darmaga, Bogor. Jalanan ini selalu penuh sesak dengan penjual makanan baik dari warteg, rumah makan padang, gerobak dorong, kali lima sampai jamu gendongan. Menurut kajian hasil survey bisnis dan kemitraan IPB (2008), terjadi perputaran uang lebih dari 700 juta rupiah tiap harinya. Perputaran uang tersebut didominasi oleh usaha kuliner baik pangan berat maupun pangan ringan.
Arus perputaran uang yang cepat dan tak pernah sepi pengunjung membuat banyak orang tergoda untuk mengais rezeki di jalanan Babakan Raya khususnya di bidang kuliner. Lambat laun usaha-usaha kuliner di bidang pangan bermunculan tak terkendali bagai jamur di awal musim penghujan. Tidak adanya kontrol yang kuat dan sistematis bagi perizinan pendirian usaha kuliner, menimbulkan risiko kesehatan dan keamanan pangan yang beredar di wilayah babakan dan sekitarnya.
Berkaca pada pengalaman masa lalu, di awal tahun 1990 terjadi ledakan penderita tiphus di Babakan Raya yang disebabkan oleh kontaminasi Salmonella. Korban mencapai puluhan mahasiswa dan menjadi kasus terkelam di lingkungan IPB. Usut punya usut ternyata salah satu pemicunya adalah kebersihan es batu yang tidak terjamin dan pencemaran air sumur yang digunakan untuk memasak makanan. Kasus serupa terjadi pada pertengahan 2010 lalu. Lima orang dalam satu kost terkena tiphus karena mengkonsumsi makanan di salah satu warung makan dekat kost-kostan. Salah satu korban berinisial Fj saat ditemui di RS Islam Bogor mengatakan setelah memakan nasi bungkus, perutya langsung sakit dan tubuhnya demam. Bahkan hampir setiap satu bulan penderita tiphus, diare, dan hepatitis tidak pernah absen. Semua peyakit tersebut disebabkan oleh makanan yang tidak terjamin kebersihannya.

Mencegah lebih baik daripada mengobati.
Ubah kondisi dengan aksi. Aksi nyata yang relevan untuk segera dilakukan adalah pencegahan merebaknya penyakit pangan di lingkar kampus (Babakan Raya). Aksi nyata tersebut tertuang dalam rancangan program bersama antara Divisi Mari Kita Peduli TELISIK PANGAN dan Departemen Peduli Pangan Indonesia DPPI Himitepa IPB yang bernama Bafosa (Babakan Food Center). Salah satu langkah awal yang akan ditempuh adalah pemetaan warung makan seluruh babakan dan kontrol kebersihan kantin dengan sistem level kualtitatif dimana level ini akan menjadi petunjuk bagi konsumen yang ingin mengunjungi tempat makan tersebut. Selain itu, akan dilakukan pelatihan kepada produsen pangan tentang sanitasi dan hygiene kantin yang standar menurut pemerintah dan akademisi. Uji periksa gratis kontaminasi produk pangan yang mengandung boraks, formalin dan pewarna tekstil rhodamin B juga akan dilayani di Bafosa.

Tentunya program Bafosa ini akan efektif jika didukung partisipasi dari masyarakat terutama mahasiswa yang banyak mencukupi kebutuhan konsumsinya di Babakan Raya. Caranya mudah, yaitu memberikan segala informasi yang jelas dan akurat jika ditemukan penyakit pangan dan secara jujur melaporkan kronologisnya. Setelah itu tim Bafosa akan menelusuri penyebabnya dan jika dirasa perlu, akan didampingi tim dari LPPM keamanan pangan IPB. Selain itu Bafosa juga akan memberikan grade kantin dengan tanda yang berbeda. Hal ini berdasarkan skor kantin tersebut terhadap kantin standar. Bukan dalam upaya mendiskreditkan kantin satu dengan kantin lainnya, tapi grade kantin ini akan menjadi satu alternatif yang adil bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, grade ini akan membantu mengetahui tingkat sanitasi kantin tersebut sedangkan bagi produsen grade ini dapat menjadi tolok ukur kebersihan kantinnya dan akan berusaha melakukan perbaikan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi konsumennya.

Bafosa adalah salah satu bentuk kontribusi HIMITEPA IPB dalam peranannya memelihara keamanan pangan di Babakan Raya Darmaga dengan Visi BARA BEBAS SALMONELLA dan penyakit pangan lainnya. Oleh sebab itu dukungan semua pihak sangat diharapkan untuk terwujudnya cita-cita mulia ini. Mari gulung baju untuk maju dan sama-sama mewujudkan keamanan pangan di lingkugan kampus tercinta untuk kesehatan yang lebih baik.

Minggu, 10 April 2011

MAGNUM primadona baru yang tersandung isu..E472..

oleh : Ary Kristianto
Kepala Divisi Ilmiah Nasional Ikatan Mahasiswa Muslim Peduli Pangan dan Gizi IMMPPG



Magnum…sensasinya timbulkan kemewahan dalam tiap gigitan, tagline salah satu merek es krim ternama di nusantara ini tengah tersandung isu. Popularitas Magnum sebagai produk unggulan es krim di Indonesia sangat dirasakan awal tahun 2011 ini. Akan tetapi ibarat pepatah, makin tinggi sebatang pohon makin kencang pula angin yang menerpanya. Baru enam bulan merebut hati konsumen, es krim Magnum diisukan mengandung babi.
Kesimpangsiuran adanya unsur babi dalam es krim Magnum dialamatkan pada tulisan E472. Masyarakat awam termakan isu bahwa kode E tersebut bermakna “mengandung babi” padahal sebenarnya kode E tersebut adalah kode untuk bahan tambahan atau aditif makanan yang telah dikaji oleh Uni Eropa. Kadang-kadang pada komposisi bahan di kemasan produk pangan tertentu hanya muncul dalam bentuk kode saja, yaitu kode E tersebut.
Sebenarnya kode E472 pada es krim Magnum adalah sebuah kode untuk menandai klasifikasi bahan pangan. Sekali lagi ditekankan bahwa E adalah kode untuk Europe artinya bahan tambahan pangan yang dikaji di Eropa. Sedangkan angka 4 adalah kode untuk kegunaan bahan tambahan tersebut yaitu untuk emulsifier, angka 7 adalah kode asal senyawa emulsifier tersebut dan angka 2 adalah nomor untuk menunjukkan asal asam lemak apakah dari hewan atau tumbuhan. Oleh karena itu, kode E472 tidak bisa diartikan “pasti mengandung babi” namun masih dimungkinkan mengandung babi. Hal tersebut karena E472 adalah kode untuk emulsifier yaitu salah satu bahan yang digunakan untuk pembuatan es krim yang memang ada kemungkinan mengandung babi. Perlu dipahami meskipun emulsifier terbuat dari asam lemak namun asam lemak tidak hanya terbuat dari lemak hewan khususnya babi melainkan juga dapat dibuat dari sumber lipid lain misalnya lemak tumbuhan minyak sawit.

Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa harus ada emulsifier dalam produk es krim. Emulsifier sangat penting dalam pembuatan tekstur es krim. Tanpa adanya emulsifier, lemak susu tidak dapat bercampur dengan air sehingga akan pecah dan secara sensori kurang diterima mutunya oleh sebagian besar konsumen. Karena fungsi yang sangat penting tersebut, orang-orang berusaha mencari produk emulsifier yang terbaik. Produk tersebut berasal dari asam lemak baik itu monogliserida, maupun digliserida. “Asal usul” asam lemak inilah yang menjadi titik kritis kehalalan suatu produk emulsifier. Oleh karena itu, proses auditing atau pemeriksaan pada ingridien ini menjadi sangat ketat. Ir. Lukmanul Hakim, M.Si Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengatakan bahwa benar pada kemasan produk magnum terdapat kode E472 yang berarti pengelmusi. Namun Emulsifier yang dipakai bukan berasal dari babi melainkan dari bahan lemak tumbuhan. Dengan alasan tersebut LPPOM MUI memberikan label halal pada Magnum Es krim (Hidayatullah.com).
Pada kasus es krim Magnum, sampai sekarang tidak terindikasi ditemukannya unsur babi. Tracebility atau kajian asal usul bahan emulsifier pada es krim Magnum dinyatakan terbebas dari unsur babi karena emulsifier yang digunakan pada produk magnum berasal dari asam lemak minyak sawit. Ribut Purwanti Humas PT Unilever yaitu perusahaan yang memproduksi es krim Magnum menyatakan bahwa emulsifier yang digunakan bersal dari lemak tumbuhan. Masyarakat tidak perlu khawatir karena berita yang beredar tidak benar dan tidak berdasarkan fakta. LPPOM MUI sebagai pihak yang sangat teliti mengaudit pangan yang beredar di Indonesia memberikan fatwa halal pada produk es krim Magnum. Pemberian label ini menjadi bukti yang cukup kuat akan kehalalan es krim Magnum (tribunmanado 2011).
Selain itu pernyataan tentang kehalalan produk es krim Magnum juga disampaikan oleh staf Pengajar Ilmu dan Teknologi Pangan IPB Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA yang juga salah seorang auditor LPPOM MUI. Beliau mengatakan masyarakat tidak usah risau adanya berita-berita yang meresahkan terkait produk pangan halal. Jikalau ditemukan keganjilan dan adanya selebaran yang berbau diskriminatif pada produk yang telah berlabel halal resmi dari LPPOM, diharapkan masyarakat segera menghubungi sekretariat LPPOM MUI baik secara langsung maupun melalui telepon dan website. LPPOM adalah lembaga yang dapat dipercaya dan diandalkan. Oleh karena itu untuk kehati-hatian, diharapkan konsumen juga teliti dalam setiap akan membeli produk pangan. Apakah dalam kemasannya terdapat logo halal atau tidak. Jika dalam kemasan produk tersebut terdapat logo halal, maka masyarakat tidak perlu lagi ragu.

Intinya, kode E yang ada kemungkinan bersumber dari hewan, tidak otomatis berasal dari babi. Harus ada sekelompok ahli yang bisa memastikan bahwa bahan-bahan tersebut apakah halal atau haram. Aktivitas audit ini yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Jadi telah terang sekarang duduk persoalan menyoal kehalalan produk es krim Magnum ini. Asam lemak yang digunakan sebagai emulsifier yang tertulis E472 pada kemasan bukan berasal dari babi seperti isu yang beredar melainkan berasal dari minyak sawit yang halal asal dan wujudnya dan telah jelas kehalalan atas sertifikasi yang telah diturunkan LPOM MUI. Akhirnya ketenangan dalam tiap gigitannya dapat kita rasakan kembali. (ar/hc/immppg/11).



Sumber fakta
Hidayatullah.com. 2011. [online]. LLPOM, kode E472 tidak berarti babi. http://hidayatullah.com/read/15974/21/03/2011/lppom:-kode-e472-tidak-berarti-babi.html (diakses tanggal 02 April 2011).
Tribunmanado.com. 2011. [online]. Unilever Bantah Es Krim Magnum mengandung lemak babi. http://manado.tribunnews.com/2011/03/22/unilever-bantah-es-krim-magnum-mengandung-lemak-babi (diakses tanggal 02 April 2011).

Sabtu, 12 Februari 2011

Pangan Lokal

Motrafood (Modern Traditional Food)
Penggalian dan optimalisasi pangan lokal sebagai solusi nyata masalah kelaparan
dan gizi buruk rakyat Indonesia

Oleh : Ary Kristianto
(Ketua Forum Komunikasi Telisik Pangan IPB)



Indonesia kaya dengan berbagai sumber pangan lokal yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk olahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Tercatat dari hasil survey DEPTAN (2008) Indonesia memiliki kekayaan hayati terbesar kedua setelah Brasil. Tanah ini memiliki 33 jenis sumber karbohidrat diantaranya ubi kayu yang produktivitanya mencapai 2 juta ton/tahun, disusul oleh ubi jalar, ganyong, talas dan sebagainya. Selain itu, Indonesia juga memiliki 66 jenis kacang-kacangan seperti komak, benguk, kecipir, kedelai serta aneka ragam kacang indigenous. Belum lagi buah-buahan indigenous dan rempah-rempah yang telah lama menjadi primadona dunia. Akan tetapi potensi lokal ini masih belum tergali dan pengembangannya masih belum sistematis dan cenderung tidak komperhensif, sehingga seringkali tidak tersentuh dan bahkan jika telah dibudidayakan, hasilnya seringkali tidak terpakai dan rusak dimakan waktu.
Di sisi lain, keadaan masyarakat Indonesia sangat riskan terhadap kekurangan gizi. Terbukti selama kurun waktu 2010 ini, tercatat sebanyak 56941 jiwa menjadi korban malnurisi atau gizi buruk, dan sebanyak 10 propinsi di Indonesia terancam kelaparan (Kementrian Kesehatan, 2010). Kasus yang menyedihkan ini agaknya menyiratkan kebenaran sebuah idiom bahwa bangsa ini seperti ayam yang kelaparan di lumbung padi.
Jika ditarik sebuah garis lurus antara dua permasalahan yang terurai di awal, akan berujung pada satu titik temu yang dapat diupayakan terutama oleh generasi muda untuk memberikan solusi nyata dan konkrit terhadap permasalahan minimnya penggalian dan optimalisasi pangan lokal dengan rendahnya kecukupan gizi masyarakat Indonesia. Solusi yang lahir dari dua latar belakang yang antitesis ini ialah konsep modern tradisonal food. Modern traditional food atau motrafood adalah pengalian dan optimalisasi pangan lokal dengan mendayagunakan teknologi pengolahan pangan sehingga produk dapat diterima masyarakat luas.
Konsep motrafood ini terbukti telah membantu mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Beberapa contoh yang dapat diambil ialah berdirinya unit usaha Republik Telo yang menjual aneka produk olahan ketela pohon. Awalnya ketela pohon hanya dianggap sebagai makanan kelas bawah sehingga pemanfaatannya minim dan tidak dapat didistibusikan ke berbagai daerah, khususnya pelosok-pelosok. Padahal dari segi harga, ketela pohon sangat terjangkau, pun untuk golongan masyarakat marginal. Selain Republik Telo, hal yang sama juga tengah dilakukan untuk mengangkat potensi lokal ubi jalar yang divariasikan produknya menjadi nasi ubi jalar, spaghetti, dan mie. Salah satu kepeloporan pemuda dalam mengentaskan kelaparan dengan basis optimalisasi pangan lokal adalah berdirinya unit usaha Steak Kampoeng Mucuna. Usaha ini cukup menarik karena mencoba mengangkat potensi lokal kara benguk yang awalnya hanya dijadikan tempe di daerah pedalaman jawa timur dan jogja, kemudian didesain menjadi produk meat ekstender sehingga menjangkau pasar yang lebih luas dan menjadi pangan yang bergengsi di wilayah bogor.
Bukan menjadi suatu masalah letak suatu daerah, baik yang dekat maupun yang jauh dari pusat ibukota. Sebenarnya penentu kesejahteraan suatu daerah bukanlah semata-mata dinilai dari posisinya terhadap pusat kegiatan pemerintahan karena masing-masing daerah mempunyai keunikan termasuk dalam hal pangan lokal. Hanya saja masalahnya apakah sudah tergali dan sudah dioptimalkan potensi yang ada.
Berkaca dari pengalaman masa lalu, pemuda sebagai pelopor perubahan harus melihat permasalahan ini sebagai tantangan dan peluang lantas menindaklanjutinya dengan konsep yang tepat dan sistematis. Konsep Motrafood ini harus diyakini akan membawa perubahan yang fundamental terhadap mindset masyarakat Indonesia terhadap pangan lokal. Dari hal yang sederhana ini, apabila diimplementasikan secara kontinyu dan persisten, maka akan membawa Indonesia lebih baik dan bermartabat. Akhirnya dalam kurun waktu yang terukur Indonesia akan mampu berdaulat pangan seperti pernyataan yang dilontarkan oleh WHO (2000) bahwa negara yang kuat adalah negara yang berdaulat atas pangannya, yaitu negara yang mampu menyuplai kebutuhan pangannya dari potensi lokal negeri sendiri.
Indonesia boleh merujuk kepada bangsa Jepang bagaimana dalam menjaga kultur budaya termasuk makanannya. Bangsa Jepang sangat menghargai pangan lokal tetapi juga sangat kreatif dalam packaging sehingga terkesan modern, nikmat, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini adalah salah satu tiang penyangga kecukupan gizi mereka. Apabila konsep ini dapat diimplementasikan di Indonesia secara menyeluruh, maka masing-masing individu di Indonesia akan berbangga dengan potensi pangan lokal sehingga nilai kebutuhan gizi akan tercukupi bahkan dapat membuka bisnis atau usaha yang akan mengurangi angka kemiskinan yang berarti juga mengurangi orang-orang yang terancam kelaparan di negeri ini.