.quickedit{display:none;}

Sabtu, 12 Februari 2011

Pangan Lokal

Motrafood (Modern Traditional Food)
Penggalian dan optimalisasi pangan lokal sebagai solusi nyata masalah kelaparan
dan gizi buruk rakyat Indonesia

Oleh : Ary Kristianto
(Ketua Forum Komunikasi Telisik Pangan IPB)



Indonesia kaya dengan berbagai sumber pangan lokal yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk olahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Tercatat dari hasil survey DEPTAN (2008) Indonesia memiliki kekayaan hayati terbesar kedua setelah Brasil. Tanah ini memiliki 33 jenis sumber karbohidrat diantaranya ubi kayu yang produktivitanya mencapai 2 juta ton/tahun, disusul oleh ubi jalar, ganyong, talas dan sebagainya. Selain itu, Indonesia juga memiliki 66 jenis kacang-kacangan seperti komak, benguk, kecipir, kedelai serta aneka ragam kacang indigenous. Belum lagi buah-buahan indigenous dan rempah-rempah yang telah lama menjadi primadona dunia. Akan tetapi potensi lokal ini masih belum tergali dan pengembangannya masih belum sistematis dan cenderung tidak komperhensif, sehingga seringkali tidak tersentuh dan bahkan jika telah dibudidayakan, hasilnya seringkali tidak terpakai dan rusak dimakan waktu.
Di sisi lain, keadaan masyarakat Indonesia sangat riskan terhadap kekurangan gizi. Terbukti selama kurun waktu 2010 ini, tercatat sebanyak 56941 jiwa menjadi korban malnurisi atau gizi buruk, dan sebanyak 10 propinsi di Indonesia terancam kelaparan (Kementrian Kesehatan, 2010). Kasus yang menyedihkan ini agaknya menyiratkan kebenaran sebuah idiom bahwa bangsa ini seperti ayam yang kelaparan di lumbung padi.
Jika ditarik sebuah garis lurus antara dua permasalahan yang terurai di awal, akan berujung pada satu titik temu yang dapat diupayakan terutama oleh generasi muda untuk memberikan solusi nyata dan konkrit terhadap permasalahan minimnya penggalian dan optimalisasi pangan lokal dengan rendahnya kecukupan gizi masyarakat Indonesia. Solusi yang lahir dari dua latar belakang yang antitesis ini ialah konsep modern tradisonal food. Modern traditional food atau motrafood adalah pengalian dan optimalisasi pangan lokal dengan mendayagunakan teknologi pengolahan pangan sehingga produk dapat diterima masyarakat luas.
Konsep motrafood ini terbukti telah membantu mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Beberapa contoh yang dapat diambil ialah berdirinya unit usaha Republik Telo yang menjual aneka produk olahan ketela pohon. Awalnya ketela pohon hanya dianggap sebagai makanan kelas bawah sehingga pemanfaatannya minim dan tidak dapat didistibusikan ke berbagai daerah, khususnya pelosok-pelosok. Padahal dari segi harga, ketela pohon sangat terjangkau, pun untuk golongan masyarakat marginal. Selain Republik Telo, hal yang sama juga tengah dilakukan untuk mengangkat potensi lokal ubi jalar yang divariasikan produknya menjadi nasi ubi jalar, spaghetti, dan mie. Salah satu kepeloporan pemuda dalam mengentaskan kelaparan dengan basis optimalisasi pangan lokal adalah berdirinya unit usaha Steak Kampoeng Mucuna. Usaha ini cukup menarik karena mencoba mengangkat potensi lokal kara benguk yang awalnya hanya dijadikan tempe di daerah pedalaman jawa timur dan jogja, kemudian didesain menjadi produk meat ekstender sehingga menjangkau pasar yang lebih luas dan menjadi pangan yang bergengsi di wilayah bogor.
Bukan menjadi suatu masalah letak suatu daerah, baik yang dekat maupun yang jauh dari pusat ibukota. Sebenarnya penentu kesejahteraan suatu daerah bukanlah semata-mata dinilai dari posisinya terhadap pusat kegiatan pemerintahan karena masing-masing daerah mempunyai keunikan termasuk dalam hal pangan lokal. Hanya saja masalahnya apakah sudah tergali dan sudah dioptimalkan potensi yang ada.
Berkaca dari pengalaman masa lalu, pemuda sebagai pelopor perubahan harus melihat permasalahan ini sebagai tantangan dan peluang lantas menindaklanjutinya dengan konsep yang tepat dan sistematis. Konsep Motrafood ini harus diyakini akan membawa perubahan yang fundamental terhadap mindset masyarakat Indonesia terhadap pangan lokal. Dari hal yang sederhana ini, apabila diimplementasikan secara kontinyu dan persisten, maka akan membawa Indonesia lebih baik dan bermartabat. Akhirnya dalam kurun waktu yang terukur Indonesia akan mampu berdaulat pangan seperti pernyataan yang dilontarkan oleh WHO (2000) bahwa negara yang kuat adalah negara yang berdaulat atas pangannya, yaitu negara yang mampu menyuplai kebutuhan pangannya dari potensi lokal negeri sendiri.
Indonesia boleh merujuk kepada bangsa Jepang bagaimana dalam menjaga kultur budaya termasuk makanannya. Bangsa Jepang sangat menghargai pangan lokal tetapi juga sangat kreatif dalam packaging sehingga terkesan modern, nikmat, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini adalah salah satu tiang penyangga kecukupan gizi mereka. Apabila konsep ini dapat diimplementasikan di Indonesia secara menyeluruh, maka masing-masing individu di Indonesia akan berbangga dengan potensi pangan lokal sehingga nilai kebutuhan gizi akan tercukupi bahkan dapat membuka bisnis atau usaha yang akan mengurangi angka kemiskinan yang berarti juga mengurangi orang-orang yang terancam kelaparan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar